Sabtu, 05 Desember 2015

RESENSI BUKU FILSAFAT ILMU, Dr. LIMAS DODI, M.Hum

FILSAFAT ILMU
oleh: IKRIMA ULUL AZMI

Judul Buku : Epistimologi, Sebuah Serpihan antara Teori dan Hasil dalam Filsafat Ilmu
Penulis : Dr. Limas Dodi, M.Hum
Penerbit : Pustaka Ilmu
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal Buku : 16x24 cm
Jumlah Halaman : xiv+183
Harga Buku : Rp. 30.000,-

Ulasan Singkat:
Dalam buku ini telah disampaikan beberapa hal pokok yang ada dalam kajian filsafat ilmu. Penulis memaparkan apa yang dibutuhkan pembaca. Teori-teori penting, dan ulasan yang lumayan rincipun telah disampaikan di dalamnya. Filsafat merupakan pengetahuan, secara praktis berarti alam berpikir. Definisi mengenai filsafat sangat banyak, sebagaimana yang diberikan oleh para filosof, misalnya plato, menurutnya filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang sesungguhnya). Objek dari filsafat adalah segala yang ada.
Kelebihan Buku:
Dalam buku ini, kalimat yang disusun oleh penulis memudahkan pembaca memahami maksud dari yang ditulis. Penjelasan yang sistematis, juga memengaruhi pembaca dalam memahami kajian-kajian filsafat yang pada umumnya filsafat merupakan salah satu ilmu yang membingungkan menurut beberapa orang. Secara keseluruhan buku ini sangat membantu pembaca dalam memahami filsafat ilmu secara mendalam.
Kekurangan Buku:
Jika diperhatikan, ada beberapa kesalahan penulisan kata yang meninggalkan satu huruf sehingga kata itu tidak bisa dibaca. Misalnya pada halaman vii, kata “selanjutnya” ditulis “slanjutnya”. Penulisan kata “kedua” ditulis “ke dua” menggunakan spasi atau karakter pemisah. Ada beberapa kata juga yang kurang sesuai dengan EYD.

Hadis tentang Pakaian dan Perhiasan


حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Apa yang dibawah kaki adalah bagian neraka

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya hingga dibawah mata kaki, maka tempatnya adalah neraka." HR. BUKHORI


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا

Siapa yang menjulurkan kain karena sombong

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Az Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang menjulurkan kain sarungnya karena sombong." HR. BUKHORI

حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ بِهِمَا
Rukhsah kaum laki-laki memakai sutera karena gatal

Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah mengabarkan kepada kami Waki' telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari Anas dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah memberi izin kepada Zubair dan Abdurrahman untuk memakai kain sutera karena penyakit gatal yang dideritanya.” HR.. MUSLIM

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ و حَدَّثَنَاه مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي حَدِيثِ ابْنِ الْمُثَنَّى قَالَ سَمِعْتُ النَّضْرَ بْنَ أَنَسٍ
Haramnya cincin emas untuk laki-laki

Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Mu'adz; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari An Nadhr bin Anas dari Basyir bin Nahik dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau melarang memakai cincin emas. Dan telah menceritakannya kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyar mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dengan sanad ini. Dan disebutkan pada Hadist Ibnu Al Mutsanna dia berkata; 'Aku mendengar An Nadhr bin Anas.”HR.MUSLIM

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رِزْمَةَ الْمَعْنَى أَنَّ زَيْدَ بْنَ حُبَابٍ أَخْبَرَهُمْ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُسْلِمٍ السُّلَمِيِّ الْمَرْوَزِيِّ أَبِي طَيْبَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ شَبَهٍ فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ الْأَصْنَامِ فَطَرَحَهُ ثُمَّ جَاءَ وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ حَدِيدٍ فَقَالَ مَا لِي أَرَى عَلَيْكَ حِلْيَةَ أَهْلِ النَّارِ فَطَرَحَهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ أَتَّخِذُهُ قَالَ اتَّخِذْهُ مِنْ وَرِقٍ وَلَا تُتِمَّهُ مِثْقَالًا وَلَمْ يَقُلْ مُحَمَّدٌ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُسْلِمٍ وَلَمْ يَقُلْ الْحَسَنُ السُّلَمِيَّ الْمَرْوَزِيَّ
Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali dan Muhammad bin Abdul Aziz bin Abu Rizmah secara makna, bahwa Zaid bin Hubab mengabarkan kepada mereka dari Abdullah bin Muslim As Sulami Al Mawarzi Abu Thaubah dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya ia berkata, "Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sementara ia mengenakan cincin dari kuningan tembaga. Beliau lalu berkata kepadanya: "Kenapa aku mendapatkan bau berhala darimu!" laki-laki itu lantas membuang cincinnya. Setelah itu ia datang lagi dengan mengenakan cincin besi, beliau bersabda: "Kenapa melihatmu mengenakan perhiasan penduduk neraka!" laki-laki lantas membuangnya kembali, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, lalu dari apa aku harus membuatnya?" beliau menjawab: "Dari perak, namun jangan engkau genapkan hingga (beratnya) satu mitsqal." Muhammad tidak menyebutkan, "Abdullah bin Muslim, atau Al Hasan As Sulami Al Mawarzi." HR.MUSLIM

makalah fiqh: rujuk dan iddah

RUJUK DAN IDDAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh
Dosen Pengampu: Nilna Fauza, M.HI
oleh:
Alfan Shafrizal Setiawan
Ikrima Ulul Azmi

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perempuan adalah mitra laki-laki, laksana seorang menteri dalam mengurus keluarga, wakil saat suami tiada, pendidik anak-anak, dan sealigus penjaga rahasia-rahasia suami. Perempuan berarti ibu dan nenek, saudara perempuan ibu maupun bapak, saudara perempuan, istri, anak dan juga cucu perempuan. Pendeknya, perempuan adalah hulu kedamaian, istana cinta, dan kasih saying.
Dengan demikian, perempuan layak mendapatkan hak istimewa. Sebagaimana dibahas dalam makalah yang berjudul rujuk dan iddah ini, keduanya memiliki manfaat yang besar bagi perempuan. Jika keduanya itu tidak ada, maka perempuan hanyalah laksana sebuah layang-layang yang ditarik ulur sesuka mereka.

Rumusan Masalah
Apa pengertian dari rujuk dan iddah ?
Apa dasar hukum dari rujuk dan iddah ?
Bagaimana Islam menanggapi mengenai rujuk dan iddah ?


BAB II
PEMBAHASAN

Rujuk
Pengertian Rujuk
Yang dimaksud dengan rujuk ialah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan.
Hukum Rujuk
Merujuk istri yang telah ditalak raj’i adalah dibolehkan. Demikian menurut kesepakatan pendapat para imam madzhab.
Hukum Rujuk pada Talak Raj’i
Kaum muslim telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri pada talak raj’i selama masih berada pada masa iddah tanpa pertimbangan persetujuan istri, berdasarkan firman Allah SWT:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak raj’i  ini harus terjadi setelah dukhul (pergaulan) dan rujuk dapat terjadi dengan kata-kata dan saksi.
Saksi untuk Rujuk
Fuqaha berselisih pendapat mengenai saksi, apakah menjadi syarat sahnya rujuk atau tidak. Mereka juga berbeda pendapat, apakah rujuk dapat disahkan dengan pergaulan. Menganai saksi, Imam Malik berpendapat bahwa ia disunnahkan, sedangkan Imam Syafi’I adalah wajib
Rujuk dengan Penggaulan Istri
Mengenai silang pendapat fuqaha berkenaan dengan cara merujuk, terdapat dua golongan dalam hal cara merujuk.
Golongan pertama, berpendapat bahwa rujuk dengan penggaulan hanya dianggap sah apabila diniatkan untuk merujuk. Karena, bagi golongan ini, perbuatan disamakan dengan kata-kata beserta niat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik. Syafi’I berpendapat bahwa rujuk itu disamakan dengan perkawinan, dan bahwa Allah telah memerintahkan untuk diadakan penyaksian, sedang penyaksian hanya terdapat pada kata-kata.
Silang pendapat antara Imam Malik dengan Abu Hanifah itu dikarenakan Abu Hanifah berpendapat bahwa rujuk itu mengakibatkan halalnya penggaulan karena disamakan dengan istri yang terkena ila’ dan istri yang terkena zhihar, disamping karena hak milik istri belum terlepas daripadanya, dan oleh karenanya terdapat hubungan saling mewaris antara keduanya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa menggauli istri yang tertalak raj’I adalah haram hingga suami merujuknya.
Batas-batas Tubuh Bekas Istri yang Boleh Dilihat oleh Suami.
Imam Malik berpendapat bahwa suami tidak boleh bersepi-sepi dengan istri tersebut, tidak boleh masuk kamarnya kecuali dengan persetujuannya, dan tidak boleh melihat rambutnya. Tetapi tidak mengapa makan bersama dia apabila ada orang lain bersama keduanya. Ibnu Qasim meriwayatkan bahwa Imam malik mencabut kembali pendapatnya tentang kebolehan makan bersama istri.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwasannya tidak berdosa istri tersebut berhias untuk suaminya, memakai wangi-wangian, serta menampakkan jari jemari dan celak. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Tsauri, Abu Yusuf, dan Auza’i.
Talak dan Rujuk Orang yang Berpergian
Dalam kaitan ini, fuqaha berselisih pendapat tentang seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak raj’I yang dijatuhkan pada saat suami bepergian (talak dijatuhkan tanpa kehadiran istri), kemudian ia merujuknya, tetapi yang sampai kepada istri tersebut adalah berita tentang talak,sedang berita mngenai rujuknya tidak sampai kepadanya, lalu istri tersebut kawin lagi sesudah masa iddahnya.
Dalam hal ini Imam Malik berpendapat dalam kitab Al-Muwaththa’ bahwa istri tersebut menjadi milik lelaki yang baru yang mengawininya, baik lelaki itu sudah menggauli atau belum.
Hukum Rujuk pada Talak Ba’in
Mengenai istri yang di talak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama. Hukum rujuk sesudah talak tersebut sama dengan nikah baru, yakni tentang pensyaratan adanya mahar, wali dan persetujuan. Hanya saja, jumhur fuqaha berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.

Iddah
Pengertian Iddah
Definisi iddah menurut bahasa dari kata “al-‘udd” dan “al-ihsha” yang berarti bilangan atau hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu per satu dan jumlah keseluruhan. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan  haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,  maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musryikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketauhilah bahwasanya Allah beserta orang-rang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36)
Dalam kamus disebutkan, iddah wanita berarti hari-hari kesucian wanita dan pengkabungannya terhadap suami. Dalam istilah fuqoha’ iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain.

Hukum Iddah
Hukum iddah wajib, seoerti yang dijelaskan dibawah ini :
Al-Quran
“Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Az-Zamakhsyari berkata: “ayat ini berbentuk kalimat berita dalam makna perintah.” Asal perkataan: “hendaklah wanita-wanita itu menunggu”, mengeluarkan perintah dalam bentuk kalimat berita bermakna penguat perintah dan member isyarat termasuk sesuatu yang wajib diterima dengan segera agar dipatuhi.
Sunnah, sebagaimana dalam Shahih Muslim.
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Saya membaca di hadapan Malik dari Abdullah bin Yazid mantan sahaya Al Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga, sedangkan dia jauh darinya, lantas dia mengutus seorang wakil kepadanya (Fathimah) dengan membawa gandum, (Fathimah) pun menolaknya. Maka (Wakil 'Amru) berkata; Demi Allah, kami tidak punya kewajiban apa-apa lagi terhadapmu. Karena itu, Fathimah menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu kepada beliau, beliau bersabda: "Memang, dia tidak wajib lagi memberikan nafkah." Sesudah itu, beliau menyuruhnya untuk menghabiskan masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian beliau bersabda: "Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh para sahabatku, oleh karena itu, tunggulah masa iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum, sebab dia adalah laki-laki yang buta, kamu bebas menaruh pakaianmu di sana, jika kamu telah halal (selesai masa iddah), beritahukanlah kepadaku." Dia (Fathimah) berkata; Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid." Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya hingga bahagia.”
 Ijma’, umat Islam sepakat wajibnya iddah sejak masa Rasulullah SAW sampai sekarang.

Macam-Macam Iddah
Ada tiga macam iddah, yaitu melahirkan kandungan, beberapa kali suci dan beberapa bulan.
Iddah Sampai Kelahiran Kandungan
Tidak ada perbedaan antara fuqaha’ bahwa wanita yang hamil jika dipisah dengan suainya karena talak atau khulu’ atau fasakh, baik wanita merdeka maupun budak, wanita muslimah atau kitabiyah, iddah-nya sampai melahirkan kandungan. Firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
Wanita hamil ditinggal suaminya karena meninggal dunia maka masa iddah-nya sampai melahirkan kandungan.
Iddah Beberapa Kali Suci
Yaitu iddah setiap perpisahan dalam hidup bukan sebab kematian, jika wanita itu masih haid sebagaimana firman Allah SWT:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Kata “Al-Qur’u” bagian dari lafal yang memiliki banyak makna, dengan makna ia tercerai padawaktu bersuci atau waktu haidh, fuqaha’ berbeda pendapat mengenai makna kata tersebut.
Iddah Dengan Beberapa Bulan
Masa iddah dengan beberapa bulan pada dua kondisi, yaitu sebagai berikut:
Kondisi wafatnya suami, barangsiapa yang meninggal suaminya setelah menikah yang shahih walaupun dalam iddah dari talak raj’i, iddah-nya 4 bulan 10 hari. Kecuali jika wanita itu hamil, maka masa iddah-nya sampai melahirkan. Al-Hasan dan Asy-Sya’bi memakruhkan  menikahi wanita dalam keadaan berdarah.
Kondisi berpisah (firaq), jika istri sudah menopause atau kecil belum haidh.

Sebab-sebab Iddah
Kewajiban iddah bagi seorang perempuan memiliki tiga sebab yang telah digariskan oleh syariat. Ini berarti, apabila ketiga sebab tersebut tidak ada maka seorang perempuan tidak akan terkena hokum iddah. Ketiga sebab tersebut adalah sebagai berikut :

Pernikahan
Maksud dari pernikahan disini adalah yang dilakukan dengan akad yang sah. Dan apabila akad nikah itu adalah cacat (Fasid) maka hokum iddah tetap berlaku dengan syarat telah terjadi hubungan badan. Yakni, apabila seorang perempuan telah menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki melalui akad nikah yang sah, atau telah berduaan dengannya, meski tidak berhubungan badan, maka hukum iddah berlaku baginya.
Kehamilan Budak Perempuan yang Dimiliki Secara Sah
Budak perempuan yang melahirkan seorang anak dari hasil hubungan dengan tuannya wajib menjalani masa iddah, yakni ketika tuannya telah meninggal dunia atau ketika dia telah dimerdekakan saat tuannya masih hidup. Ia kemudian disebut dengan umm al-walad (ibu kandung anak sang tuan), dan berhak merdeka.
Akan tetapi, kewajiban iddah tidak berlaku bagi budak perempuan yang haram digauli oleh tuannya, seperti saudara perempuan dan ibu dari sang tuan itu sendiri, atau budak perempuan yang beragama Majusi (penyembah sapi).
Hubungan Badan yang Terjadi Karena Unsur Syubhat
Adalah suatu perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan tidak dilandasi akad pernikahan yang sah dan dengan unsur kesengajaan.

Larangan Dalam Masa Iddah
Haram Menikah Dengan Laki-Laki Lain
Seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah, baik karena dicerai, fasakh, maupun ditinggal mati oleh suami, tidak boleh menikah dengan laki-laki selain dengan laki-laki yang telah meninggalkan atau menceraikannya itu. Jika dia menikah maka pernikahannya dianggap tidak sah, dan jika dia melakukan hubungan badan maka dia terkena hukuman al-hadd.
Meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang menjalani masa iddah juga haram hukumnya, baik sindiran itu berasal dari sang perempuan maupun dari laki-laki. Ketentuan-ketentuan ini berlaku bagi semua laki-laki selain suami yang telah menyebabkan terjadinya talak. Seorang suami boleh menjalin hubungan lagi dengan mantan istrinya selama masih dalam masa iddah. Dia boleh menikahinya lagi setelah terjadi talak raj’I, atau menikahinya dengan akad yang baru setelah terjadi talak ba’in kecil (talak satu atau talak dua) atau fasakh. Namun, jika terjadi talak ba’in besar (talak tiga) maka dia tidak boleh menikahinya lagi jika mantan istrinya itu telah menikah dengan laki-laki lain, lalu diceraikan atau ditinggal mati, dan masa iddahnya telah selesai. Allah SWT berfirman dalam QS.Al-Baqarah: 229-230.
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau melepaskan denganbaik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak dapat menjalankan hokum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) di berikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum hukum Allah, janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum Allah, mereka itulah orang-orang dzalim. Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan laki-laki lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang telah diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” (QS. Al-Baqarah: 229-230).


Haram Keluar Rumah Kecuali Karena Alasan Darurat
Perempuan yang sedang menjalani masa iddah tidak boleh keluar rumah yang ditinggali bersama suaminya sebelum bercerai. Dia baru boleh keluar jika ada keperluan yang mendesak. Selain itu, sang suami juga tidak boleh memaksanya keluar rumah kecuali jika dia telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Wajib Melakukan Ihdad
Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melakukan ihdad (menahan diri) sampai habis masa iddahnya. Kata ihdad berarti tidak memakai perhiasan, wewangian, pakaian yang berlebihan, pacar, dan celak mata. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwasannya,
“Diriwayatkan dari Ummi Salamah, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh memakai pakaian yang bermotif, tidak memakai perhiasan, tidak memacari kuku, dan tidak bercelak mata.” (HR. Abu Dawud dan An.Nasai).

Hikmah Disyariatkan Iddah
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa semua iddah tidak terlepas dari sebagian maslahatyang dicapai, yaitu sebagai berikut :
Mengetahui kebebasan rahim dari percampuran nasab.
Memberikan kesempatan suami agar intropeksi diri dan kembali kepadda istri yang tercerai.
Berkabungnya wanita yang ditinggal mati oleh suaminya untuk memenuhi dan menghormati perasaan keluarganya.
Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang lama.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Iddah dan adalah diantara perkara yang bersifat ibadah yang tidak menemukan hikmahnya selain Allah  karena kita berhajat mengetahui kebebasan rahim wanita yang mandul ketika dicerai dan tidak ada kesempatan rujuk dalam talak ba’in.





















DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009.
Alkaf, Abdullah Zaki. Fiqih Empat Madzhab. Bandung: Hasyimi, 2014.
Said, Imam Ghozali. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Khon, Abdul Majid. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah, 2014.
Manshur, Abdul Qodir. Fiqih Wanita. Jakarta: Zaman, 2012.