Sabtu, 11 Juni 2016

MAKALAH QOWAID FIQHIYYAH (ADHDHORORU YUZAL)-Ikrima Azmi

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak ingin tertimpa bahaya atau kesusahan. Pembawaan alamiyah ini  membuat kebanyakan manusia selalu berpikir pragmatisdan praktis, manusia selalu berupaya merengkuh kebahagiaan sepuas-puasnya dan berusaha menghindari bahaya sejauh-jauhnya. Upaya yang demikian adalah perwujudan sifat manusiawi setiap orang. Dan islam tidak menampik realita semacam ini, melainkan mengadopsinya dalam bingkai-bingkai hukum yang apresiatif dan akomodatif. Hal ini bukan hanya sebuah ungkapan klise belaka. Sebagai bukti adalah makna yang terangkup dalam konsep kaidah ini, yang secara eksplisit memotivasi kita untuk membuang jauh-jauh semua bahaya, baik bahaya untuk diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain. Bahaya yang berwujud kesusahan, kesulitan, atau kesempitan ruang gerak, baik di dunia maupun di akhirat harus disingkirkan sedapat mungkin.


RUMUSAN MASALAH
Apa Pengertian dari Kaidah” الضَّرَرُ يُزَال”?
Apa Landasan dari Kaidah ” الضَّرَرُ يُزَال”?
Apa Cakupan  dari Kaidah ” الضَّرَرُ يُزَال”?



BAB II

PEMBAHASAN

PENGERTIAN KAIDAH
الضَّرَرُ يُزَالُ
Kemudharat harus dihilangkan
Bila ditinjau dari aspek bahasa kata-kata ضرر dan ضرار mempunyai makna yang sama, namun objeknya berbeda. Arti ضرر adalah perbuatan yang dilakukan seorang diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri. Sementara ضرار adalah perbuatan yang bersifat interelasi, yakni dilakukan oleh dua orang atau bebih, dan berbahaya pada diri sendiri serta orang lain. Selain pengertian diatas, ada pula yang member makna ضرر sebagai perbuatan yang bermanfaat bagi pribadi, tetapi berbahaya bagi orang lain. Sedangkan ضرار adalah bentuk pekerjaan yang membahayakan orang lain tanpa member manfaat pada si pelaku.
Ad-dhararu berarti berbuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak, mendatangkan kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang tidak diijinkan oleh agama. Sedangkan tindakan perusakan terhadap orang lain yang diijinkan oleh agama seperti qishas, diyat, had dan lain-lain tidak di kategorikan berbuat kerusakan tetapi untuk mewujudkan kemaslahatan.
Menurut al-Zauhari, al-dhiraru adalah lawan kata dari manfaat. Oleh sebab itu, kata ini mengukuhkan pada kata yang pertama (al-dhararu). Tapi menurut mayoritas ulama, kedua kata itu artinya berbeda. Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Syarah al-Arba'in al-Nawawiyah mengatakan kata al-dhararu artinya berbuat kerusakan kepada orang lain. Sedangkan kata al-dhiraru artinya berbuat kerusakan kepada orang lain dengan tujuan pembalasan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh agama.Karena kata al-dhiraru yang fiil madhinya ikut pada wazan فاعل berarti musyarakah (dua orang melakukan satu pekerjaan).


LANDASAN KAIDAH
Konsep kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhraar (tidak menyakiti, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (meyakiti) pada orang lain
Dasar ini dipergunakan para ahli hukum Islam dengan dasar argumentative hadis Nabi SAW yang diriwayatkan dari berbagai jalur transmisi (sanad):
لَاضَرَرَوَلَاضِرَارَ
Tidak boleh member mudarat dan membalas kemudaratan
Pembatasan (limitasi) kebebasan manusia dalam mempergunakan hak utilitasnya, kepemilikan, ataupun tasharruf-nya padahal-hal yang dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain juga termasuk kategori upaya pencegahan bahaya yang mengerikan dengan segala cara jika memang ia benar-benar terjadi. Misalnya, jika seseorang menyewa sebuah kios untuk dipergunakan sebagai tempat pandai besi, tempat pemanggangan roti, atau alat distiller minyak, maupun dapur, sementara kios tersebut terletak di blok pedagang kain sutra, makahal tersebut di larang, sebab bahaya (kerugian) yang dapat ditimbulkan jelas lebih besar dari padabahaya (kerugian) yang mungkin ditanggung oleh orang tersebut seorang diri, karena kemaslahatan sosial di dahulu kan daripada kemaslahatan individual.
Qa'idah ini merupakan salah satu dan qa'idah yang sangat substansial di dalam ilmu fiqih. Banyak qa'idah-qa'idah kecil yang diturunkan darinya. Dasar dari qai'dah ini adalahal-Qur'an dan Hadits Nabi. Ayat al-Qur'an yang senafas denganqa'idah di atas adalah surat al-Baqarah ayat 231 dan ayat 229:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا
Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula. Jangan rujuki mereka untuk member kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
لطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Thalaq (yang dapat dirujuk ) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa laki-laki jika telah mentalaq istrinya, maka ia diperbolehkan ruju', tapi apabila iasudah tidak membutuhkannya lagi karena sudah tidak ada ke- cocokkan, maka tidak boleh mencegahnya, karena akan menimbulkan dloror pada pihak istri, yaitu lamanya masa 'iddah yang perempuan.
Ayat di atas walaupun secara eksplisit hanya menjelaskan tentang aturan talaq akan tetapi secara implisitme larang berbuat atau menyebabkan  bahaya kepada orang lain (istri) Masih banyak ayat-ayat yang pada intinya melarang berbuat atau menyebabkan bahaya, baik dalam bentuk yang besar maupun kecil. Ayat berikut misalnya:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagaipokokkehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Ayat di atas walaupun tidak secara tegas melarang berbuat bahaya terhadap orang lain, namun secara tersirat memiliki misi yang sama dengan qa'idah di atas. Mustafa mengatakan, ayat ini adalah dalil untuk qa'idah di atas karena tujuan yang ingin dicapai oleh ayat tersebut agar harta orang yang tidak berakal tidak rusak secara sia-sia. Bagi siapa saja yang tidak pandai menggunakan harta dengan baik, karena tidak berakal atau idiot berhak untuk mendapatkan pengawasan dari Qadhi atau kerabatnya dengan tujuan agar hartanya tidak habis dengan sia-sia.
Sedangkan hadits-hadits Nabi saw yang mendukungnya, di antaranya hadis yang jalur periwayatannya diangap valid dan menjadi dasar dari qa'idah ini adalah hadits yang diriwayatkah oleh al-Hakim dari Abi Sa'id al-Hudri:
ومن شاق شاق الله عليه يوم القيا مة
bagi siapa menyulitkan kepada orang lain, maka Allah akan menyulitkan dia di hari kiamat nanti.


CAKUPAN KAIDAH
Sebagai salah satu dari al-qawdid al-khams, kaidah ini mempunyai skala cakupan yang sangat luas dan menyeluruh, sehingga mampu menjangkau hampir semua elemen kehidupan dan menjadi prinsip dasar terbangunnya hukum-hukum syariah. Namun dalamcatatan Muhammad Shidqi, inti kaidah ini hanya menegaskan soalkewajiban menghilangkan dlarar setelah ia menimpa kita. Artinya,permasalahan furu'iyyah yang termuat di dalamnya adalah persoalandimana dlarar-nya yang sudah terjadi dan harus segera dihilangkan.sementara untuk dlarar yang belum terjadi, maka furu'iyah-nyatermuat dalam sub-kaidah al-dlarar yudfa'u bi qadr al-imkan(akandibahas dalam sub-kaidah).
Beragam permasalahan yang dirangkum kaidah ini, antara lain:
Diperbolehkannya mengembalikan barang yang sudah dibeli (mabi') yang di dalamnya terdapat kerusakan (ma'ib). Sebab, seandainya ma'ib itu tidak boleh dikembalikan, maka pihak pembelipasti akan mengalami kerugian karena telah membeli barang yangsudah rusak, padahal ia telah mengeluarkan biaya untuk itu.kerenanya, apabila barang yang sudah di beli tidak boleh, dikembalikan dalam keadaan apapun (termasuk apabila ia telahrusak), karena hal ini jelas mengabaikan dan membiarkan terjadinyadlarar pada pembeli. Padahal al-dlarar harus yuzalu.
Diberlakukannya khiyar (hak untuk memilih), baik khiyar majlis,khiyar syarath, maupun khiyar 'ayb dalam hukum-hukum mu'dmalah.Semuanya merupakan upaya preventif (tindakan pencegahan) syariah agar antara penjual dan pembeli tidak mendapati kerugian  saat, di dalam, atau sesudah proses transaksi. Sebab dalam pandangan Islam, kerugian adalah salah satu bentuk mudlaratyang harus dihindari.
Pemberlakuan faskh al-nikdh (gugatan cerai di depan hakim) yang dilakukan seorang istri kepada suaminya yang mempunyai cacat (‘ayb al-nikah), juga termasuk salah satu cakupan kaidah ini. Seorang istri tentu mendambakan suaminya adalah seorang priayang sehat secara fisik maupun psikis. Karena itu, bila suaminyamempunyai cacat, maka sang istri diperbolehkan mengajukangugatan cerai. Sebab bila ia terus bertahan atau bersabar menerimakeadaan sang suami, maka ia pasti akan mendapat kesulitan-kesulitan dan penderitaan psikologis yang belum tentu mampuditanggungg. Ini tentu termasuk perbuatan dlarar. Di lain pihak,karena statusnya hanya sebagai istri, maka ia tidak mempunyai hak untuk menceraikan suaminya. Sementara sang suami memiliki hak itu. Karenanya, syariah kemudian memberikan hak penyeimbang meminta faskh kepadanya agar dlarar yang diderita bisa dihilangkan.
Selain contoh-contoh kasuistik di atas, masih banyak permasalahan lain yang terangkum dalam kaidah ini, diantaranya adalah formulasi hukum syufah, (jishdsh, hudud, diaman, kajdrah, qasamh,Daf’al-sha'il dan bughat, hingga nasb al-a'immah. Pada intinya, semuakonstruksi hukum di atas terbangun atas upaya menghilangkan bahaya(daf al-dharar) dan menggapai kebaikan (jalb al-mashalih). Prinsipmendirikan pemerintahan (nashb al-a'immah) misalnya, jelas merupakan upaya syariah untuk melindungi orang-orang lemah dan tak berdayadari perbuatan aniaya orang-orang kuat atau para penguasa, sertaagar ada ketertiban hukum dan keteraturan sosial, sehingga orang-orang yang punya hak dapat memperoleh apa yang menjadi haknya. Sebab, apa jadinya bila dalam satu negara tidak ada pemerintahan,pasti yang berlaku adalah hukum rimba; yang kuat memeras yang lemah yang perkasa menindas yang tak berdaya.
Sedangkan hijr pada harta debitur (orang yang berhutang) bertujuan untuk mencegah agar kreditur (penghutang atau ghurama')dapat memperoleh haknya walaupun pihak debitur mengalamikebangkrutan (taflis). Sementara hijr pada harta anak-anak atau orang gila dengan memberikan hak pengelolaannya kepada wali masing-masing, adalah upaya pengelolaan harta agar tidak terbuang percuma atau tersia-sia akibat ketidakmampuan mereka dalam mengelola hak milik sendiri.
Sementara unsur daf al-dlarar (menghilangkan kesulitan) dalam akad syufah merupakan usaha perlindungan yang diberikan Islamagar antara pihak yang berserikat tidak mengalami kesulitan dalampembagian haknya, serta agar si syafi' (pemilik hak syuf ah) terhindardari kesulitan mendapat teman sekutu yang belum tentu dikenal dan belum jelas baik-buruknya. Sebab sudah menjadi tabiat dasar manusiaselalu menyenangi teman yang telah dikenal akrab, apalagi teman serikat dalam satu rumah seperti dalam masalah syufah ini.
Dalam permasalahan qishash, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai sebuah formulasi hukum yang tidak relevan untuk masa sekarang, dengan melihat esensi kaidah ini jelas terdapat, dafal-dlarar. Karena dengan pelaksanaan qishash, orang yang hendakmelakukan kejahatan akan berpikir dua kali untuk melaksanakan kejahatannya. Hikmah dari pelaksanaan Cjishash sendiri adalah sebagai pencegah terulangnya pembunuhan dan tindak pidana lainnya. Secara sepintas, qishash dapat dipahami sebagai hukuman setimpal yang diberikan kepada orang yang melakukan tindakan pidana, yang dilakukan pada harta, anggota tubuh, dan jiwa orang lain.
Relevansi kaidah ini juga ditemukan pada pelaksanaan hudud, sebuah bentuk hukuman yang teknis pelaksanaan dan ukurannya telah ditentukan. Makna hudud sebenarnya tidaklah berbeda dengan qishash, namun hudud dilaksanakan karena haqq Allah, seperti hukumanbagi pelaku zina, atau hak-hak yang didalamnya berkumpul antara haqq Allah dan haqq adami (hak-hak manusia), seperti hukuman bagi pelaku qadzf (tuduhan zina). Sedangkan qishash dilaksanakan dalam rangka memenuhi haqq adami, bukan haqq Allah.
Esensi kaidah ini juga terdapat dalam peraturan syariah seputar persoalan pemerintahan, misalnya dalam permasalahan nashb al- a'immah (pengangkatan seorang pemimpin). Nabi saw. bahkan bersabda, "Ketika ada tiga orang keluar untuk melakukan perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin". Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dikehendaki dengan tiga orang dalam hadits di atas adalah batas minimal terbentuknya sebuah kelompok (jama'ah). Ibn Taymiyah menyimpulkan dari hadits di atas dan sebuah hadits lainbahwa ketika Nabi saw. mewajibkantiga orang untuk menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin dalam sebuah kelompok kedi (baca; tiga orang), sebenarnya beliau sedang mengingatkan pada kelompok-kelompok lain yang lebih besar. Karenanya, keberadaan sebuah negara dan pemerintahan merupakan suatu keharusan, karena tanpa hal itu, pelaksanaan hudud,amar ma'ruf-nahy munkar, dan banyak hal lain, tidak bisa terwujud dan tercapai. Atau dengan pengertian lain bahwa, keberadaan pemerintahan adalah untuk menghilangkan dampak negatif (baca; tarar) pada masyarakat yang beraneka ragam.
 Contoh permasalahan yang lebih 'kecil' dan seringkali terjadidalam kehidupan sehari-hari adalah persoalan dahan pohon yang mengganggu rumah orang lain. Dahan pohon yang menjulur panjanghingga mengenai sebagian dari rumah tetangga, misalnya, harussegera dipotong. Artinya, pemilik pohon boleh dipaksa untuk memotong dahan pohon tersebutsebagai upaya mencegah timbulnyadlarar pada orang lain. Hukum yang sama berlaku bagi seorang yangbagian rumah atau galian tanahnya 'mengkorup' sisi jalan umumhinggi mengganggu para pengguna jalan ia boleh dipaksa untuk memangkas (bagian rumah) dan menimbun (galian tanahnya), agar para pemakai jalan bisa berlalu-lintas secara aman dan nyaman.
 Dan masih banyak lagi permasalahan lain yang di dalamnyaterkandung ruh kaidah al-dlarar yuzdl. Pada intinya, semua contohyang telah atau yang belum disebutkan di sini adalah bagian dariupaya menolak mudlarat yang sudah terjadi.




DAFTAR PUSTAKA
Andiko, Toha.2011. Ilmu Qowaid Fiqhiyyah.Yogyakarta: Teras.
Farid Muhammad Washil, Nashr. 2009. Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.
Zubair, Maimoen. 2009.Formulasi Nalar Fiqh telaah Kaidah Fiqh Konseptual.Surabaya: khalista.
Manshur, Yahya Chusnan. 2009. Ulasan Nadhom al-Faroid al-Bahiyyah. Jombang : Pustaka Al-Muhibbin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar