Jumat, 20 Januari 2017

SUPERVISI MANAJERIAL PENGAWAS SEKOLAH

Ikrima Azmi
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan, pasti terdapat struktur organisasi dengan berbagai tugas dan perannya. Salah satunya mengenai supervisor. Supervisi pendidikan yang dilakukan oleh kepala sekolah atau madrasah atau oleh supervisor memiliki fungsi yang sangat penting. Dimana pada dasarnya, yang pertama kali mengetahui bagaimana keadaan suatu sekolah atau madrasah adalah seorang supervisor.
Jadi, dalam setiap waktu seorang supervisor perlu melakukan pengawasan terhadap kondisi didalam sekolahnya, baik dari sisi guru, siswa, sarana dan prasarana ataupun yang lain-lain.
Dalam makalah ini, akan disinggung mengenai supervisi manajerial, dimana seorang supervisor mengawasi dan membina seluruh tenaga kependidikan untuk meninngkatkan kualitas pengelolaan dan administrasi sekolah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari supervisi manajerial?
2.      Apa saja aspek kompetensi supervisi manajerial?
3.      Apa saja peran dari supervisi manajerial?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Supervisi Manajerial
Supervisi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang pengawas sekolah dalam rangka membantu tenaga kependidikan baik kepala sekolah, guru, maupun tenaga kependidikan yang lain untuk meningkatkan mutu dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran.
Supervisi manajerial terfokus pada aspek-aspek yang berhubungan dengan pengelolaan dan administrasi sekolah yang berfungsi sebagai pendukung terlaksananya pembelajaran dan bertujuan untuk peningkatan mutu satuan pendidikan. [1]
Supervisi manajerial atau pengawasan manajerial merupakan fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumber daya tenaga pendidik dan kependidikan.[2]

B.     Aspek-aspek Kompetensi Supervisi Manajerial
Kompetensi supervisi manajerial adalah kemampuan pengawas sekolah dalam menilai dan membina kepala sekolah dan tenaga kependidikan lain yang ada di sekolah dalam miningkatkan kualitas pengelolaan dan administrasi sekolah.[3]
Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2007, kompetensi supervisi manajerial diantaranya:
1.      Menguasai metode, teknik dan prinsip-prinsip supervisi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah menengah yang sejenis.
2.      Menyusun program kepengawasan berdasarkan visi-misi tujuan dan program pendidikan sekolah menengah yang sejenis.
3.      Menyusun metode kerja dan instrumen yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengawasan di sekolah menengah yang sejenis.
4.      Menyusun laporan hasil-hasil pengawasan dan menindaklanjutinya untuk perbaikan program pengawasan berikutnya di sekolah menengah yang sejenis.
5.      Membina kepala sekolah dalam pengelolaan dan administrasi satuan pendidikan berdasarkan manajemen peningkatan mutu pendidikan di sekolah menengah yang sejenis.
6.      Membina kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan konseling di sekolah menengah yang sejenis..
7.      Mendorong guru dan kepala sekolah dalam merefleksikan hasil-hasil yang dicapainya untuk menemukan kelebihan dan kekurangan dalam melaksanakan tugas pokoknya di sekolah menengah yang sejenis.
8.      Memantau pelaksanaan standar nasional pendidikan dan memanfaatkan hasil-hasilnya untuk membantu kepala sekolah dalam mempersiapkan akreditasi sekolah menengah yang sejenis.[4]

C.    Peran Supervisi Manajerial
Dalam melaksanakan fungsi manajerial, pengawas sekolah berperan sebagai: (1) fasilitator dalam proses perencanaan, koordinasi, pengembangan manajemen sekolah, (2) asesor dalam mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan serta menganalisis potensi sekolah, (3) informan pengembangan mutu sekolah, dan (4) evaluator terhadap hasil pengawasan.[5]
Kegiatan yang dilakukan oleh pengawas sekolah terangkum dalam Lembaga Pemberdayaan Pengembangan Kepala Sekolah, diantaranya sebagai berikut:
1.      Memantau: (1) Pelaksanaan ujian nasional, PSB, dan ujian sekolah (2) Pelaksanaan standar nasional pendidikan.
2.      Menilai: Kinerja kepala sekolah dalam melaksanakan tugas pokok fungsi dan tanggung jawabnya.
3.      Membina: (1) Kepala Sekolah dalam pengelolaan dan administrasi sekolah (2) Kepala Sekolah dalam mengkoordinir pelaksanaan program bimbingan konseling.
4.      Melaporkan dan Tindak Lanjut: (1) Hasil pengawasan manajerial pada sekolah-sekolah binaannya  (2) Menindaklanjuti hasil-hasil pengawasan manajerial untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan satuan pendidikan.[6]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Supervisi manajerial merupakan kegiatan pengawasan mengenai penyelenggaraan dan administrasi sekolah dengan tujuan meningkatkan mutu pembelajaran. Pengertian ini termuat dalam Permendiknas RI No.12 tahun 2007 dan dalam buku kerja pengawas sekolah.
Aspek-aspek kompetensi supervisi manajerial tercantum dalam Permendiknas No. 12 tahun 2007, diantaranya:
1.      Menguasai metode, teknik dan prinsip-prinsip supervisi.
2.      Menyusun program kepengawasan.
3.      Menyusun metode kerja dan instrumen.
4.      Menyusun laporan hasil-hasil pengawasan dan menindaklanjuti.
5.      Membina kepala sekolah dalam pengelolaan dan administrasi satuan pendidikan.
6.      Membina kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan konseling.
7.      Mendorong guru dan kepala sekolah dalam merefleksikan hasil-hasil yang dicapai.
8.      Memantau pelaksanaan standar nasional pendidikan.
Dalam melaksanakan fungsi manajerial, pengawas sekolah berperan sebagai: fasilitator, koordinator, pengembangan manajemen sekolah, asesor, menganalisis potensi sekolah, informan pengembangan mutu sekolah, dan evaluator.






[1] Tim Pengembang Bahan Pembelajaran Lembaga Pemberdayaan Pengembangan Kepala Sekolah, Supervisi Manajerial Pengawas Sekolah/Madrasah (Karanganyar: LPPKS, 2015), 3.
[2] Nana Sujana, dkk., Buku Kerja Pengawas Sekolah (Jakarta: Pusbangtendik, 2011), 21.
[3] Tim Pengembang Bahan Pembelajaran LPPKS., 1.
[4] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 12, Standar Pengawas Sekolah/Madrasah (Jakarta: BSNP, 2007), 8-10.
[5] Nana Sujana, dkk.,  Buku Kerja Pengawas Sekolah., 21.
[6] Tim Pengembang Bahan Pembelajaran LPPKS., 2.

EVALUASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

EVALUASI KEBIJAKAN
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam melaksanakan suatu program, pastilah dibutuhkan evaluasi. Begitu pula dalam proses perumusan kebijakan pendidikan. Setelah proses formulasi hingga pelaksanaan kebijakan, barulah dilakukan evaluasi kebijakan. Pengadaan evaluasi ini burfungsi untuk mengetahui seberapa jauh program yang telah dirumuskan dan dilaksanakan berjalan dan sebagai perbaikan untuk program yang selanjutnya.
Evaluasi yang dilakukan dalam kebijakan pendidikan merupakan proses akhir dari seluruh langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan. Dalam melakukan proses terakhir ini terdapat beberapa model yang dapat digunakan dalam menilai hasil-hasil kebijakan. Model inilah yang menjadi langkah selanjutnya setelah melihat permasalahan yang ada dalam perumusan kebijakan.
Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan adanya sebuah kajian evaluasi kebijakan guna pembelajaran dan sebagai pengetahuan lebih mendalam untuk selanjutnya dapat diterapkan dalam sebuah proses penilaian. Oleh karena itu, dalam makalah ini, kami sebagai penulis akan memaparkan mengenai evaluasi kebijakan yang terfokus pada model, proses dan permasalahan saat evaluasi dalam ranah pendidikan.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian evaluasi kebijakan pendidikan?
2.      Apa saja model evaluasi kebijakan pendidikan?
3.      Bagaimana kriteria evaluasi kebijakan pendidikan?
4.      Bagaimana evaluasi proses kebijakan pendidikan?
5.      Apa saja permasalahan dalam evaluasi kebijakan pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Pengertian evaluasi jika dikerucutkan berhubungan dengan hasil informasi mengenai nilai atau manfaat dari hasil kebijakan yang pada kenyataannya mempunyai nilai.[1]
Evaluasi adalah aktivitas untuk mengetahui sejauh mana suatu program telah terlaksana atau belum terlaksana dan berhasil atau gagal sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Menurut Supandi, evaluasi merupakan upaya menganalisa nilai-nilai dari fakta-fakta suatu kebijakan. Sehingga dalam hal ini tidak hanya sekedar mengumpulkan fakta mengenai kebijakan, melainkan juga membuktikan fakta-fakta tersebut mempunyai nilai atau tudak jika dibandingkan dengan kriteria yang telah ditentukan.
Jones mengartikan evaluasi kebijakan sebagai suatu kegiatan yang dirancang untuk menilai hasil-hasil dari program pemerintah yang dengan objek, teknik pengukuran dan metode analisisnya.[2]
Menurut Stufflebeam, evaluasi berarti proses penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang bermanfaat dalam menentukan alternatif keputusan. Menurut Anderson, evaluasi merupakan proses yang menetukan hasil yang telah dicapai yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Menurut Suharto, kebijakan merupakan suatu ketetapan yang menganut prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana untuk mencapai tujuan.[3]
Setelah mengetahui definisi evaluasi menurut beberapa pendapat diatas, penulis dapat menyimpulkan, evaluasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menilai dan mengukur program dari semua aspek untuk mengetahui apakah program tersebut sudah terlaksana atau belum, sesuai dengan perencanaan dan harapan atau belum.
Sedangkan evaluasi kebijakan berarti penilaian terhadap hasil program yang telah direncanakan dan laksanakan oleh pemerintah. Untuk pengertian evaluasi kebijakan pendidikan merupakan pengukuran atau penilaian terhadap program pemerintah yang terfokus dalam ranah kependidikan dalam segala aspek.

B.     Model Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Kaufman dan Thomas membedakan model evaluasi kebijakan menjadi delapan, namun tidak semua model ini diterapkan atau sangat jarang digunakan. Berikut model-model evaluasi kebijakan yang sering digunakan:
1.      Goal Oriented Evaluation, model ini dikembangkan oleh Tyler. Objek dari model ini adalah tujuan dari program yang ditetapkan sebelum program berjalan dan evaluasi dilakukan secara berkesinambungan.
2.      Goal Free Evaluation, model ini dikembangkan oleh Scriven. Model ini berlawanan dengan model pertama atau bisa dikatakan evaluasi lepas dari tujuan khusus. Sebab, menurut Scriven yang perlu diperhatikan adalah penampilan dari tiap langkah program. Model ini mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan penilaian secara rinci.
3.      Formatif Summatif Evaluation, model ini juga dikembangkan oleh Scriven. Model ini dilakukan pada waktu program masih berjalan (formatif) dan ketika program sidah berakhir (sumatif).[4]

C.    Kriteria Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Menurut Lester dan Stewart dikutip dari Winamo, evaluasi kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda, tugas pertama adalah untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Sedangkan tugas kedua adalah menilai program kebijakan dengan pengukuran terlaksana atau belum terlaksana dan berhasil atau gagal berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.[5]
Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, analisis menggunakan tipe kriteria yang berbeda untuk menganalisis hasil kebijakan. Kriteria evaluasi hasil kebijakan sebagai berikut:
1.      Efektifitas berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan.
2.      Efsiensi berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan efektifitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi adalah hubungan antara efektifitas dan usaha yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiense biasanya ditentukan melalui perhitugan biaya per unit produksi atau layanan.
3.      Kecukupan berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya  hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4.      Pemerataa atau kesamaan erat hubungannya dengan rasionalitas legal dan sosial dan merunjuk pada distribusi akibat usaha antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang beriorentasi pada pemerataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usahanya distribusi secara adil.
5.      Responsivitas berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok masyarakat tertentu. Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan pemerataan dianggap masih gagal jika belum menanggapi (respon) terhadap kebutuhan aktual dari suatu kelompok yang semestnya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.
6.      Ketetapan erat berhubungan dengan rasionalitas substantif karena pertanyaan tentang ketetapan kebijakan tidak bekenaan dengan satuan kriteria indivindu tetapi dua atau lebih kriteria secara bersamaan. Ketetapan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan tersebut. [6]

D.    Evaluasi Proses Kebijakan Pendidikan
Evaluasi kebijakan berarti penilaian terhadap hasil program yang telah direncanakan dan laksanakan oleh pemerintah. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa spesifikasi kriteria evaluasi itu beragam begitu pula teknik dan metode analisisnya. Secara umum, proses evaluasi menurut Patton dan Sawicki (1986) adalah sebagai berikut:
1.      Mengdentifikasi tujuan yang akan dievaluasi.
2.      Analisis masalah yang harus ditangani oleh aktivitas kebijakan tersebut.
3.      Deskripsi dan standarisasi dari aktivitas evaluasi.
4.      Pengukuran tingkat perubahan yang terjadi.
5.      Penentuan mengenai apakah perubahan itu terjadi karena aktivitas atau karena penyebab lain.
Melihat proses di atas, dalam mengidentifikasi dan analisis masalah dapat dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan, dimana pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban yang sesuai dengan tujuan program. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan diantaranya:
1.        Apa hakikat dari isi tujuan tersebut?
2.        Siapa target dari program tersebut?
3.        Kapan perubahan yang diinginkan itu harus muncul?
4.        Apakah tujuan itu bersifat seragam atau beragam?
5.        Seberapa besar pengaruh yang diinginkan?
6.        Bagaimana tujuan itu dapat tercapai?[7]

E.     Permasalahan dalam Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Dalam pelaksanaan evaluasi kebijakan, tidak terlepas dari masalah-masalah yang sering terjadi pada saat pelaksanaan evaluasi ini, diantaranya:
1.      Apabila tujuan kebijakan tidak jelas, ketidakjelasan dapat disebabkan oleh adaya kompromi yang dipaksakan yang terjadi pada langkah pertama pembuatan kebijakan.
2.      Cepatnya perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat ini dianggap masalah karena dapat menyulitkan evaluasi kebijakan, karena jika masalah pada masa ini diselesaikan maka sudah tidak relevan dengan masa yang akan datang yang pasti diikuti dengan masalah yang baru.
3.      Ketidakjelasan masalah. Hal ini berkaitan dengan sumber dan gejala masalah dimana beberapa pihak mengasumsikan sumber dan gejala masalah sesuai dengan pandangannya, sehingga sumber dan gejala masalah dianggap tidak jelas.
4.      Adanya hubungan masalah satu dengan yang lainnya yang membutuhkan pemecahan yang sama.
5.      Subjektifitas masalah. Hal ini dilihat dari sudut pandang orang satu dengan yang lain dimana mereka mempunyai persepsi yang berbeda mengenai masalah kebijakan.[8]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Evaluasi kebijakan merupakan penilaian terhadap hasil-hasil program kebijakan dimana penilaian ini melihat seberapa jauh tujuan dari program kebijakan terlaksana. Banyak ahli yang mengemukakan tentang model-model yang digunakan dalam evaluasi kebijakan. Salah satunya, Kaufman dan Thomas yang berpedapat ada delapan model yang dapat digunakan dalam evaluasi kebijakan pendidikan (goal orientation, goal free, formatif-summatif evaluation, dll).
Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, analisis menggunakan tipe kriteria yang berbeda untuk menganalisis hasil kebijakan, diantaranya: efektifitas, efisiensi, kecukupan, pemerataan, responsivitas dan ketetapan.
Proses dan tahapan evaluasi menururt Patton dan Sawicki (1986) secara garis besar adalah sebagai berikut:
1.      Mengdentifikasi tujuan yang akan dievaluasi.
2.      Analisis masalah yang harus ditangani oleh aktivitas kebijakan tersebut.
3.      Deskripsi dan standarisasi dari aktivitas evaluasi.
4.      Pengukuran tingkat perubahan yang terjadi.
5.      Penentuan mengenai apakah perubahan itu terjadi karena aktivitas atau karena penyebab lain.
Dalam setiap program termasuk evaluasi kebijakan pastilah terdapat masalah-masalah yang mengiringi jalannya suatu program. Masalah-masalah yang terdapat pada evaluasi kebijakan salah satunya adalah subjektifitas masalah. Hal ini dilihat dari sudut pandang orang satu dengan yang lain dimana mereka mempunyai persepsi yang berbeda mengenai masalah kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, dkk.2009. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
digilib.unila.ac.id.pdf. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2016.
Fattah, Nanang. 2012. Analisis Kebijakan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Imron, Ali. 2012. Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia (Proses, Produk, dan Masa Depannya). Jakarta: Bumi Aksara.
Rusmawati, dkk. 2014. Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar Dan Menengah (Dikdasmen) Provinsi Kalimantan Timur Dalam Rangka Pelaksanaan Program Wajib Belajar 12 Tahun Di Kota Samarinda, Jurnal Administrative Refrom, Vol 2, No 3.




[1] Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 234.
[2] Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia (Proses, Produk, dan Masa Depannya), (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 86-87.
[3] Rusmawati, Masjaya, Muhammad Noor, Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Provinsi Kalimantan Timur dalam Rangka Pelaksanaan Program Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Samarinda, Jurnal Administrative Refrom, Vol 2, No 3, 2014, 1761.
[4] Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin A. J, Evaluasi Program Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 41-43.
[5] digilib.unila.ac.id.pdf. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2016
[6] Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya,2012), 234.
[7] Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan., 247.
[8] Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia., 94-95.